Langsung ke konten utama

Terima kasih



Aku seringkali berada di situasi dimana keberuntungan selalu memelukku. Tatkala rapuh dan lemah membayangiku sebelum melangkah. Aku merasa tiada punya daya apa-apa ketika usahaku telah dengan seluruh. Aku tahu rencanaku mungkin tidak tertulis pada garis takdir Allah yang telah disiapkan jauh hari untukku.


Penolakan dan ketidaksiapan diriku menerima apa yang digariskan terkadang membuat pikiranku terhambat. Aku mulai belajar untuk berdamai dengan diri sendiri, merenung dan sejenak terhening dengan perjalanan yang sudah kutempuh sejauh ini. Mengapa aku terkadang seperti orang serakah yang selalu menginginkan sebuah kebahagiaan tanpa adanya tangisan?

Allah selalu baik. Mengapa aku menjadi hamba yang sering mengecewakan-Nya? Mengapa aku masih saja sering lalai dan khilaf dengan semua pemberian-Nya. Yaa Allah, ampuni aku.

Aku tahu aku bukanlah orang baik. Allah menutup rapat aibku hingga mungkin sampai detik ini aku tetap menjadi manusia yang terlihat baik-baik saja. Maka, nikmat mana lagi yang kamu dustakan?

Dewasa ini, aku belajar untuk hidup. Sinau urip supoyo urup. Nyatanya banyak kita yang hidup tetapi mati. Raganya memang menjadi makhluk hidup, namun hati dan pikiran terkadang mati karena pemikiran duniawi.

Bukanlah menjadi sok bijak dengan berucap demikian, kusadari setiap dari kita juga manusia biasa yang tak luput dari dosa. Aku hanya ingin menjadi pembelajar seumur hidup selama aku masih berada di bumi Allah, sebelum nanti setiap dari kita dimintai pertanggungjawaban atas semua tindakan.

Terima kasih Yaa Allah. Engkau hadirkan semesta yang mendukung dan membersamai dalam langkah kebaikan. Yakinkan aku untuk selalu berada di garis lurus menuju kearahMu. Aku terlahir dari keluarga yang biasa saja, namun ketahuilah aku selalu ingin menjadi yang lebih baik dan tidak biasa saja di tiap harinya. Terima kasih untuk hidup dan kehidupan yang telah Engkau berikan padaku.

“Kawula mung saderma, mobah-mosik kersaning Hyang Sukmo”
Cirebon di Ramadhan ke 8, 1441 H 

Komentar

Popular Posts

Narasi Hujan

Kudengar gemericik air hujan kini mulai deras. Sore beriring kabut mendung. Awan tak kuasa menampung air di dalam perutnya. Melepaskan satu persatu tetes ke bumi membuatnya lega. Setiap cuaca terkadang menyebabkan rasa. Aku masih kurang percaya, apa aku menjadi salah satu korbannya. Sejujurnya aku tak begitu menyukai hujan. Suara guntur dan derasnya air semakin membuat mencekam. Aku lebih menikmati gerimis kecil hujan dan pasca hujan itu reda. Mendamaikan. Menyejukkan. Dingin yang menghangatkan. Suasana yang selalu aku inginkan. Walaupun begitu, aku tidak sepenuhnya membenci cuaca ini. Setidaknya dulu ia pernah menghentikan aku denganmu dalam satu waktu. Aku malu karena akhirnya aku tak bisa menyembunyikan rasa takutku kala itu. Betapa tidak. Aku tidak sepemberani anak yang lain ketika merasakan hujan. Aku cukup ketakutan sehingga aku selalu memilih menguatkan diri sendiri dengan menggenggam tangan. Sekali lagi aku malu. Semua terlihat jelas di matamu. Tak banyak berkutik, a

Rutinitas yang Berbatas

Pagi ini secara tidak sengaja aku terpikirkan sesuatu. Sebenarnya tujuan apa yang akan kita cari dari rutinitas yang sehari-hari kita lalui. Hmm, semakin beranjak dewasa terkadang pikiran yang random selalu terlintas. Ingin tidak memikirkan hal-hal demikian malah justru menjadi kepikiran. Coba kita tengok dari rutinitasku. Pagi hari aku bangun sekitar pukul 4 – 5. Walaupun seringnya aku bangun lebih dulu dari jam itu, tapi untuk normalnya orang, kebanyakan jam bangun tidur adalah jam sekian. Pagi hari aku isi dengan membersihkan diri, merapikan tempat tidur, solat wajib, dan sarapan. Setelah semuanya sudah siap, rapi dan bersih aku kemudian berangkat kerja. Pekerjaan menjadi sebagian waktu yang dominan aku kerjakan. Sebagian besar waktuku berada disini. Kondisiku yang sekarang sudah bukan mahasiswa lagi tentunya menjadikan tanggung jawab yang lebih besar dimana aku harus berpikir tentang bagaimana mendapatkan penghasilan sendiri. Setidaknya aku bisa membantu mencukupi kebu

Menikmati Jeda

Kalimat ini terangkai dengan baik dan bisa saat ini terbaca karena sebuah jeda. Pelajaran hidup yang sangat baik aku ambil dari setiap kali aku menuliskan kalimat. Mengapa tulisan ini bisa akhirnya kau pahami adalah karena setiap kata yang terangkai ada spasi yang memberi sedikit ruang. Memaknai suatu hal memang perlu didalami satu-satu. Tak layak bukan, jika seluruh kata berduyun-duyun tanpa ada pemisah? Mencoba menilik kembali judul tulisan ini. Hmm, aku sepertinya sudah terlalu lama tak bermuhasabah diri. Mari coba kita merefleksikan sejauh mana sudah tumbuh berkembang. Hidup sejatinya adalah perjalanan panjang dimana selalu ada ujung dan pangkal. Bahwa sebuah permulaan suatu zat diciptakan selalu memiliki tujuan pada akhirnya. Seringkali, tak banyak orang benar-benar memahami makna dari istirahat. Mulai menepi pada huru hara aktivitas dunia sebaiknya memang lebih baik untuk sering kita lakukan. Aku mencoba memaknai jeda untuk setiap rangkaian cerita hidupku. Tarik nafas dalam-d