Langsung ke konten utama

when 17

Aku selalu bangun pagi, saat kokok ayam mulai bersahutan. Saat itu pula Ibuku sudah lebih dahulu bangun. Aku tak bisa membayangkan bagaimana energy yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan rumah dan kerjanya. Pasti lelah selalu dirasa. Dan mungkin jika aku yang melakukannya, pasti tak sanggup. Ibu sosok perkasa dalam hidupku. 
Aku berangkat sekolah dengan berjalan menyusuri setiap setapak jalan kampungku. Aku seperti berlomba dengan matahari untuk mendapatkan pagi paling cepat. Dan pastinya aku kalah. Karena matahari selalu mendahuluiku. Namun, kita pada akhirnya menjalaninya bersama. Entah matahari yang menemaniku atau aku yang menemaninya. Setelah berjalan kurang lebih bisa menguras tenagaku, aku selalu absen di pertigaan jalan yang menuju kota, menuju SMA ku. Aku bagaikan rambu rambu yang menunggu sebuah mobil kuning bertuliskan ADB bergaris merah lengkap dengan supir yang tinggal jauh di desa pegunungan sana. Terkadang aku bersama dengan anak anak berseragam putih biru berkepang, ada juga yang berkerudung. Namun, aku juga pernah sendiri di belakang supir. Menemani mencari penumpang lain di sebuah pasar yang buka pada pagi hari. Tak asing bagiku untuk mendapatkan hal semacam ini. Karena, dengan mobil ini perjalanan menuju sekolahku menjadi lebih dekat.
Ada saat saat dimana aku harus kembali berjalan lagi sampai di sebuah tempat pemberhentian angkot di perempatan jalan kota. Untuk ini aku berjalan cukup jauh melewati jembatan, jalan yang naik, sampai tempat biasanya andong andong berkumpul. Dan itu butuh energy yang lebih untuk sampai ke sana.
Catatan yang sangat bagus yang aku lakukan adalah seberapa siangnya aku bangun pagi, aku belum pernah sama sekali terlambat. Pernah satu kali nyaris aku terlambat. Tapi itu setelah aku melewati pos jaga satpam. Dan TEEET tepat berbunyi saat aku berjalan di depan ruang guru. Fyuh, aku beruntung. Ternyata suasana depan sekolahku ketika jam menunjukkan pukul 06.27 itu seperti penutupan diskon besar-besaran sebuah mall. Harus cepat, lari, kalau perlu angkat rok, sambil melihat satpam berkumis yang sudah siap siaga mau meletus, eeh salah menutup pintu gerbangnya. Tapi pada akhirnya aku tidak sama sekali terlambat. Dan Tuhan selalu bersamaku. 

#saat pengajian masjid ((lagi)) 19:59_12 Oktober 2013     ~Ey~

Komentar

Popular Posts

Rutinitas yang Berbatas

Pagi ini secara tidak sengaja aku terpikirkan sesuatu. Sebenarnya tujuan apa yang akan kita cari dari rutinitas yang sehari-hari kita lalui. Hmm, semakin beranjak dewasa terkadang pikiran yang random selalu terlintas. Ingin tidak memikirkan hal-hal demikian malah justru menjadi kepikiran. Coba kita tengok dari rutinitasku. Pagi hari aku bangun sekitar pukul 4 – 5. Walaupun seringnya aku bangun lebih dulu dari jam itu, tapi untuk normalnya orang, kebanyakan jam bangun tidur adalah jam sekian. Pagi hari aku isi dengan membersihkan diri, merapikan tempat tidur, solat wajib, dan sarapan. Setelah semuanya sudah siap, rapi dan bersih aku kemudian berangkat kerja. Pekerjaan menjadi sebagian waktu yang dominan aku kerjakan. Sebagian besar waktuku berada disini. Kondisiku yang sekarang sudah bukan mahasiswa lagi tentunya menjadikan tanggung jawab yang lebih besar dimana aku harus berpikir tentang bagaimana mendapatkan penghasilan sendiri. Setidaknya aku bisa membantu mencukupi kebu

Narasi Hujan

Kudengar gemericik air hujan kini mulai deras. Sore beriring kabut mendung. Awan tak kuasa menampung air di dalam perutnya. Melepaskan satu persatu tetes ke bumi membuatnya lega. Setiap cuaca terkadang menyebabkan rasa. Aku masih kurang percaya, apa aku menjadi salah satu korbannya. Sejujurnya aku tak begitu menyukai hujan. Suara guntur dan derasnya air semakin membuat mencekam. Aku lebih menikmati gerimis kecil hujan dan pasca hujan itu reda. Mendamaikan. Menyejukkan. Dingin yang menghangatkan. Suasana yang selalu aku inginkan. Walaupun begitu, aku tidak sepenuhnya membenci cuaca ini. Setidaknya dulu ia pernah menghentikan aku denganmu dalam satu waktu. Aku malu karena akhirnya aku tak bisa menyembunyikan rasa takutku kala itu. Betapa tidak. Aku tidak sepemberani anak yang lain ketika merasakan hujan. Aku cukup ketakutan sehingga aku selalu memilih menguatkan diri sendiri dengan menggenggam tangan. Sekali lagi aku malu. Semua terlihat jelas di matamu. Tak banyak berkutik, a

Terima kasih

Aku seringkali berada di situasi dimana keberuntungan selalu memelukku. Tatkala rapuh dan lemah membayangiku sebelum melangkah. Aku merasa tiada punya daya apa-apa ketika usahaku telah dengan seluruh. Aku tahu rencanaku mungkin tidak tertulis pada garis takdir Allah yang telah disiapkan jauh hari untukku. Penolakan dan ketidaksiapan diriku menerima apa yang digariskan terkadang membuat pikiranku terhambat. Aku mulai belajar untuk berdamai dengan diri sendiri, merenung dan sejenak terhening dengan perjalanan yang sudah kutempuh sejauh ini. Mengapa aku terkadang seperti orang serakah yang selalu menginginkan sebuah kebahagiaan tanpa adanya tangisan? Allah selalu baik. Mengapa aku menjadi hamba yang sering mengecewakan-Nya? Mengapa aku masih saja sering lalai dan khilaf dengan semua pemberian-Nya. Yaa Allah, ampuni aku. Aku tahu aku bukanlah orang baik. Allah menutup rapat aibku hingga mungkin sampai detik ini aku tetap menjadi manusia yang terlihat baik-baik saja. Maka, n