Langsung ke konten utama

Mengapa Sastra Menyenangkan?

Bagaimana kita akan menjelaskan sebuah fenomena di sekitar kita dengan bahasa yang tidak biasa. Bagaimana membuat apa yang ingin kita jelaskan lebih indah untuk dicerna maknanya. Bagaimana mengekspresikan sesuatu yang mungkin tidak bisa diucapkan oleh lisan kita namun, seringkali terngiang di pikiran untuk disampaikan. Begitulah kiranya aku mendefinisikan sebuah sastra.

Sastra (Sanskerta: shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta ‘Sastra’, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar ‘Sas’ yang berarti “instruksi” atau “ajaran” dan ‘Tra’ yang berarti “alat” atau “sarana”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.

Ketika kamu mengenal bagaimana seni dalam menyampaikan kata-kata, mensiratkan makna dalam barisan paragraf, maka mungkin kamu akan jatuh cinta seterusnya. Betapa tidak? Setidaknya karya sastramu membawa dirimu ke ruang waktu mana saja yang engkau mau. Kau dapat menceritakan kegundahanmu di masa lalu, perjuanganmu saat ini dan angan-angan kamu di masa depan. Sebagian orang mungkin sulit untuk mengungkapkan opini dan perasaan mereka. Karya sastra dapat membantumu menuangkan segalanya.

Namun, satu hal yang perlu diketahui bahwa terkadang sebuah karya sastra dapat memicu pro dan kontra. Kembali pada sebuah peribahasa “mulutmu, harimaumu”, maka ketika karyamu diibaratkan mulutmu, maka kau harus siap-siap untuk menjaga mulutmu itu.  


Pengetahuanku masih minim tentang sastra. Kamus kata-kataku masih sedikit daripada milik orang lain. Makna yang tertuang seringkali jelas tersirat dan mudah dicerna. Namun, setidaknya aku masih memiliki semangat untuk terus berkarya dalam sebuah sastra. 

Komentar

Popular Posts

Rutinitas yang Berbatas

Pagi ini secara tidak sengaja aku terpikirkan sesuatu. Sebenarnya tujuan apa yang akan kita cari dari rutinitas yang sehari-hari kita lalui. Hmm, semakin beranjak dewasa terkadang pikiran yang random selalu terlintas. Ingin tidak memikirkan hal-hal demikian malah justru menjadi kepikiran. Coba kita tengok dari rutinitasku. Pagi hari aku bangun sekitar pukul 4 – 5. Walaupun seringnya aku bangun lebih dulu dari jam itu, tapi untuk normalnya orang, kebanyakan jam bangun tidur adalah jam sekian. Pagi hari aku isi dengan membersihkan diri, merapikan tempat tidur, solat wajib, dan sarapan. Setelah semuanya sudah siap, rapi dan bersih aku kemudian berangkat kerja. Pekerjaan menjadi sebagian waktu yang dominan aku kerjakan. Sebagian besar waktuku berada disini. Kondisiku yang sekarang sudah bukan mahasiswa lagi tentunya menjadikan tanggung jawab yang lebih besar dimana aku harus berpikir tentang bagaimana mendapatkan penghasilan sendiri. Setidaknya aku bisa membantu mencukupi kebu

Narasi Hujan

Kudengar gemericik air hujan kini mulai deras. Sore beriring kabut mendung. Awan tak kuasa menampung air di dalam perutnya. Melepaskan satu persatu tetes ke bumi membuatnya lega. Setiap cuaca terkadang menyebabkan rasa. Aku masih kurang percaya, apa aku menjadi salah satu korbannya. Sejujurnya aku tak begitu menyukai hujan. Suara guntur dan derasnya air semakin membuat mencekam. Aku lebih menikmati gerimis kecil hujan dan pasca hujan itu reda. Mendamaikan. Menyejukkan. Dingin yang menghangatkan. Suasana yang selalu aku inginkan. Walaupun begitu, aku tidak sepenuhnya membenci cuaca ini. Setidaknya dulu ia pernah menghentikan aku denganmu dalam satu waktu. Aku malu karena akhirnya aku tak bisa menyembunyikan rasa takutku kala itu. Betapa tidak. Aku tidak sepemberani anak yang lain ketika merasakan hujan. Aku cukup ketakutan sehingga aku selalu memilih menguatkan diri sendiri dengan menggenggam tangan. Sekali lagi aku malu. Semua terlihat jelas di matamu. Tak banyak berkutik, a

Terima kasih

Aku seringkali berada di situasi dimana keberuntungan selalu memelukku. Tatkala rapuh dan lemah membayangiku sebelum melangkah. Aku merasa tiada punya daya apa-apa ketika usahaku telah dengan seluruh. Aku tahu rencanaku mungkin tidak tertulis pada garis takdir Allah yang telah disiapkan jauh hari untukku. Penolakan dan ketidaksiapan diriku menerima apa yang digariskan terkadang membuat pikiranku terhambat. Aku mulai belajar untuk berdamai dengan diri sendiri, merenung dan sejenak terhening dengan perjalanan yang sudah kutempuh sejauh ini. Mengapa aku terkadang seperti orang serakah yang selalu menginginkan sebuah kebahagiaan tanpa adanya tangisan? Allah selalu baik. Mengapa aku menjadi hamba yang sering mengecewakan-Nya? Mengapa aku masih saja sering lalai dan khilaf dengan semua pemberian-Nya. Yaa Allah, ampuni aku. Aku tahu aku bukanlah orang baik. Allah menutup rapat aibku hingga mungkin sampai detik ini aku tetap menjadi manusia yang terlihat baik-baik saja. Maka, n