Langsung ke konten utama

Mengapa Menulis?

Sebagian besar teman-teman yang mengenal saya mungkin akan paham. Mengapa seringkali saya lebih banyak meluangkan waktu saya untuk menulis daripada berbicara. Ya, walaupun pada konteks tertentu memang saya tidaklah sependiam dulu. Sedari kecil saya adalah orang yang cukup pemalu. Entah mengapa seringkali saya kesulitan untuk mengungkapkan apa yang saya pikir dalam sebuah ucapan.  Walaupun untuk saat ini saya sudah mulai meminimalisir sifat pemalu saya. Semenjak dewasa dan tuntutan dari pendidikan saya yang mengharuskan untuk berkomunikasi dengan baik, mau tidak mau saya akhirnya tumbuh menjadi sosok yang berbeda dari saya sebelumnya. Saya akhirnya dituntut untuk tampil di depan umum, berinteraksi dengan banyak orang atau memimpin sebuah diskusi dan pertemuan yang mungkin sebelumnya mustahil bagi saya untuk melakukan. 
Ada saat dimana saya kembali menjadi pribadi yang introvert. Dimana saya lebih suka menyendiri. Saat-saat seperti itu adalah waktu terbaik bagi saya untuk memahami saya. Memahami apa yang saya rasakan dan menuangkannya lewat tulisan.


Oh iya, minat menulis saya ini sebagian besar juga terbentuk dari lingkungan sekitar. Waktu saya kecil yaitu saat masih sekolah dasar saya sempat melihat betapa rumitnya kakak sepupu saya menyusun skripsi. Dulu, kakak sepupu saya mengangkat skripsi dari analisis sebuah novel Rojak karya Fira Basuki yang hits pada tahun 2004. Saat itu saya masih berusia sekitar 8 tahun, namun rasa ingin tahu saya akhirnya mendorong saya untuk lebih mendalami novel yang dijadikan bahan skripsi kakak sepupu saya. Hahaha. Semenjak saat itu, akhirnya saya banyak meluangkan waktu saya untuk menulis di buku diary. Buku diary saya dulu sangat sederhana. Hanya sekedar buku sidu isi 38 lembar dan saya tulis semua kegiatan saya dari bangun pagi sampai tidur di malam hari. Seringkali saya juga menulis puisi. Bukan puisi yang puitis. Sama sekali hanya tulisan sederhana yang seringkali saya buat agar nada akhirnya seirama. Secara random saya menuliskan apa yang saya pikir. Sempat saat saya SD saya beranikan diri untuk mengirim tulisan saya ke redaksi Bobo. Namun sayang, kesempatan untuk tulisan saya dimuat ke majalah masih jauh. Saya sadar tulisan saya masih belum ada apa-apa, mungkin memang belum waktunya.


Setelah tamat sekolah dasar, saya pun masih aktif menulis. Menulis menjadi sebagian dari rutinitas waktu itu. Apalagi saat saya akhirnya mempunyai notebook sendiri. Saya akhirnya banyak menuangkan tulisan saya kedalam narasi yang saya ketik di notebook itu. Senang sekali dulu rasanya saat puisi dan cerpen saya akhirnya masuk ke redaksi majalah sekolah. Ada perasaan senang dan malu sebenarnya saat akhirnya nama saya terpampang di majalah sekolah. Senang karena akhirnya tulisan saya dimuat. Malu karena itu kali pertama tulisan saya disebarluaskan dan dibaca oleh orang banyak.


Menulis mungkin adalah cara saya merepresentasikan apa yang saya pikir. Terkadang banyak orang yang sulit untuk mengungkapkan atau mengekspresikan. Saya memilih jalan menulis untuk tetap bisa berbagi apa yang saya rasakan. Sebagian besar orang yang menulis membutuhkan inspirasi. Saya pun. Kebanyakan apa yang saya tulis adalah apa yang saat ini saya pernah atau sedang rasakan. Beberapa orang pernah ada dalam tulisan saya mungkin. Ketika saya menulis, seringkali orang kemudian menganggap saya terlalu melodrama, alay, atau galau. Hmm padahal sebenarnya tidak selalu seperti itu. Saya hanya ingin konsisten dengan hobi saya. 


Menulis memberikan ruang privasi bagi saya untuk menceritakan semuanya. Menulis membawa saya keruang waktu mana saja yang saya mau. Saya bisa menuliskan kegundahan saya di masa lalu, keadaan saya saat ini dan harapan saya di masa mendatang. Jika tak ada foto yang bisa dikenang, masih ada tulisan yang bisa dibaca. Karena saya terlalu malu untuk berekspresi dalam foto, saya memilih menulis untuk mengekspresikan diri saya. 


12.39 - 10 September 2019
Kedawung

Komentar

Popular Posts

Rutinitas yang Berbatas

Pagi ini secara tidak sengaja aku terpikirkan sesuatu. Sebenarnya tujuan apa yang akan kita cari dari rutinitas yang sehari-hari kita lalui. Hmm, semakin beranjak dewasa terkadang pikiran yang random selalu terlintas. Ingin tidak memikirkan hal-hal demikian malah justru menjadi kepikiran. Coba kita tengok dari rutinitasku. Pagi hari aku bangun sekitar pukul 4 – 5. Walaupun seringnya aku bangun lebih dulu dari jam itu, tapi untuk normalnya orang, kebanyakan jam bangun tidur adalah jam sekian. Pagi hari aku isi dengan membersihkan diri, merapikan tempat tidur, solat wajib, dan sarapan. Setelah semuanya sudah siap, rapi dan bersih aku kemudian berangkat kerja. Pekerjaan menjadi sebagian waktu yang dominan aku kerjakan. Sebagian besar waktuku berada disini. Kondisiku yang sekarang sudah bukan mahasiswa lagi tentunya menjadikan tanggung jawab yang lebih besar dimana aku harus berpikir tentang bagaimana mendapatkan penghasilan sendiri. Setidaknya aku bisa membantu mencukupi kebu

Narasi Hujan

Kudengar gemericik air hujan kini mulai deras. Sore beriring kabut mendung. Awan tak kuasa menampung air di dalam perutnya. Melepaskan satu persatu tetes ke bumi membuatnya lega. Setiap cuaca terkadang menyebabkan rasa. Aku masih kurang percaya, apa aku menjadi salah satu korbannya. Sejujurnya aku tak begitu menyukai hujan. Suara guntur dan derasnya air semakin membuat mencekam. Aku lebih menikmati gerimis kecil hujan dan pasca hujan itu reda. Mendamaikan. Menyejukkan. Dingin yang menghangatkan. Suasana yang selalu aku inginkan. Walaupun begitu, aku tidak sepenuhnya membenci cuaca ini. Setidaknya dulu ia pernah menghentikan aku denganmu dalam satu waktu. Aku malu karena akhirnya aku tak bisa menyembunyikan rasa takutku kala itu. Betapa tidak. Aku tidak sepemberani anak yang lain ketika merasakan hujan. Aku cukup ketakutan sehingga aku selalu memilih menguatkan diri sendiri dengan menggenggam tangan. Sekali lagi aku malu. Semua terlihat jelas di matamu. Tak banyak berkutik, a

Terima kasih

Aku seringkali berada di situasi dimana keberuntungan selalu memelukku. Tatkala rapuh dan lemah membayangiku sebelum melangkah. Aku merasa tiada punya daya apa-apa ketika usahaku telah dengan seluruh. Aku tahu rencanaku mungkin tidak tertulis pada garis takdir Allah yang telah disiapkan jauh hari untukku. Penolakan dan ketidaksiapan diriku menerima apa yang digariskan terkadang membuat pikiranku terhambat. Aku mulai belajar untuk berdamai dengan diri sendiri, merenung dan sejenak terhening dengan perjalanan yang sudah kutempuh sejauh ini. Mengapa aku terkadang seperti orang serakah yang selalu menginginkan sebuah kebahagiaan tanpa adanya tangisan? Allah selalu baik. Mengapa aku menjadi hamba yang sering mengecewakan-Nya? Mengapa aku masih saja sering lalai dan khilaf dengan semua pemberian-Nya. Yaa Allah, ampuni aku. Aku tahu aku bukanlah orang baik. Allah menutup rapat aibku hingga mungkin sampai detik ini aku tetap menjadi manusia yang terlihat baik-baik saja. Maka, n